Jumat, 02 Desember 2011

Tahlilan, Ritual Upacara Kematian Adat Jawa

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo. Atas perjuangan mereka, berhasil
mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di
Demak Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di
tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha
mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama
bagi mereka yang telah masuk Islam. Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu Aliran Giri dan Aliran Tuban. Aliran Giri adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi
dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang
yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang
jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam
tanpare seve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan
mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut Islam Putih.
Adapun Aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam.
Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para
wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan
dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka
pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri
yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh
mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap
sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana.
Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-
sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh
untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang
disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajn a dan Somayjna.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun
Hafiryayajna untuk semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh
orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia
setelah mati, sebelum memasukik a rm a n , yakni menjelma lahir kembali
kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma
menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal
perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada
dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari
kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu,
pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan
mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa
agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan
menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengana ghnidey a, yaitu menyalakan
api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si
pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian
berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para
dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-
nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Musyawarah para wali
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan
musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi
orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga
selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para
ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya
sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel
selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua
sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu
nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti
apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus
sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga”. Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelu dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur.
Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya
yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka
kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang. Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I,
para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka
ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000
orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran
Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk
menyerang Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan
Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya.
Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam
agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang
Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung
dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang
ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyarakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala
adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam,
akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya
organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada
muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain
: “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil
yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”.
Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU.
Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil,
termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sumber: blog.unikom.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar