Sabtu, 22 Desember 2012

Jam'iyah Dzikir Anti Galau

Mengingat semakin menurunnya rasa tawakal umat akan janji Alloh SWT bahwa setiap sesuatu pasti ada sesuatunya, sakit ada obatnya, masaah ada jalan keluarnya, dan jalan keluar yang baik adalah jalan keluar yang di berikan Alloh melalui doa-doa hambanya. Umat masa kini banyak dalam penyelesaian masalah hanya berfikir secara akal saja, akhirnya bila jalan yang di tempuh buntu akan berakibat efek yang buruk,mulai dari ke Galauan jiwa sampai mengakiri jiwa.
Maka dari itu kegiatan Dzikir perlu di lakukan, untuk umat yang awam pastilah banyaknya teman memperngaruhi perkembangan jiwa nya, dari itu semua kegiatan Dzikir Anti Galau hadir di tengah-tengah masyarakat terutama Kediri, di dasari tabarukan dan menyebarkan wirid dzikir dari shohibul ijazah KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri yang terangkum dalam isthigotsah YAMISDA kami beserta kawan-kawan membuat suatu kegiatan rutinan di Makam Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong Kota Kediri.
Kagiatan yang di lakukan setiap malam selasa di mulai pukul 22:00 Wib ini di dasari niat Tabarukan Guru Kami KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri juga tabarukan pada para Auliya'illah khususnya Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong.
Acara Inti tentunya Dikir berjama'ah Isthigotsah YAMISDA dan setelah itu di teruskan bincang-bincang kecil sambil ngopi-ngopi dengan niat ngopi ngaji, walaupun terkean santai tapi bila di niati dengan niat ibadah insya alloh mendapat nilai ibadah. Kegiatan Ngopi Ngaji ini alhamdulillah mendapat respon positif dari kalangan remaja.
Acara Jam'iyah Dzikir Anti Galau dan Ngopi Ngaji ini tak lepas dari dukungan para guru terutama para Dzuriyah Shohibul Ijazah KH. Abdul Malik Ihsan,yaitu KH. Agus Ujang Ihsan dan KH. Agus Bahri Abdul Aziz yang memberikan ijzah serta izin dalam mengadakan kegiatan ini. juga Al Ustadz K. Muztain Fattah dan Al Ustadz Hasan bashori yang selalu mendukung perjuangan kami. Semoga kegiatan ini dapat istiqomah dan banyak jama'ah yang barokah. Amien

Jam'iyah Dzikir Anti Galau

Mengingat semakin menurunnya rasa tawakal umat akan janji Alloh SWT bahwa setiap sesuatu pasti ada sesuatunya, sakit ada obatnya, masaah ada jalan keluarnya, dan jalan keluar yang baik adalah jalan keluar yang di berikan Alloh melalui doa-doa hambanya. Umat masa kini banyak dalam penyelesaian masalah hanya berfikir secara akal saja, akhirnya bila jalan yang di tempuh buntu akan berakibat efek yang buruk,mulai dari ke Galauan jiwa sampai mengakiri jiwa.
Maka dari itu kegiatan Dzikir perlu di lakukan, untuk umat yang awam pastilah banyaknya teman memperngaruhi perkembangan jiwa nya, dari itu semua kegiatan Dzikir Anti Galau hadir di tengah-tengah masyarakat terutama Kediri, di dasari tabarukan dan menyebarkan wirid dzikir dari shohibul ijazah KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri yang terangkum dalam isthigotsah YAMISDA kami beserta kawan-kawan membuat suatu kegiatan rutinan di Makam Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong Kota Kediri.
Kagiatan yang di lakukan setiap malam selasa di mulai pukul 22:00 Wib ini di dasari niat Tabarukan Guru Kami KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri juga tabarukan pada para Auliya'illah khususnya Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong.
Acara Inti tentunya Dikir berjama'ah Isthigotsah YAMISDA dan setelah itu di teruskan bincang-bincang kecil sambil ngopi-ngopi dengan niat ngopi ngaji, walaupun terkean santai tapi bila di niati dengan niat ibadah insya alloh mendapat nilai ibadah. Kegiatan Ngopi Ngaji ini alhamdulillah mendapat respon positif dari kalangan remaja.
Acara Jam'iyah Dzikir Anti Galau dan Ngopi Ngaji ini tak lepas dari dukungan para guru terutama para Dzuriyah Shohibul Ijazah KH. Abdul Malik Ihsan,yaitu KH. Agus Ujang Ihsan dan KH. Agus Bahri Abdul Aziz yang memberikan ijzah serta izin dalam mengadakan kegiatan ini. juga Al Ustadz K. Muztain Fattah dan Al Ustadz Hasan bashori yang selalu mendukung perjuangan kami. Semoga kegiatan ini dapat istiqomah dan banyak jama'ah yang barokah. Amien

Rabu, 05 Desember 2012

Peninggalan Kanjeng Nbai Muhammad SAW

1. Sorban,tongkat dan jubah Rasulullah SAW
2. Sandal Rasulullah SAW
3. Foot print atau cetak kaki Rasulullah
4. Kamar Rasulullah di bekas rumah beliau di Makkah
5. Mihrab Rasulullah dibekas rumah beliau diMakkah
6. Makam Rasulullah di Madinah
7. Salah satu surat Rasulullah
8.Gamis Rasulullah
9. Gua hira’
10. Tempat kelahiran Siti fathimah RA di Makkah
11. Rambut Rasulullah
12. Busur panah Rasulullah
13. 2 helai rambut Rasulullah
14. Makam Siti Aminah ibunda Nabi setelah digusur paksa
15. Stempel surat Rasulullah
16. Makam Siti Aminah,Siti Khadijah dan Abu Thalib sebelum digusur paksa
17. Makam Rasulullah tahun 1907
18. Makam Rasulullah tahun 1907 sebelum dipagar dengan kuningan
Ini adalah sisa2 Peninggalan/Situs Islam yg sebagian besar telah di hancurkan oleh Kaum Wahbi/Salafi

KYAI PELACUR 2


Sufi Eksentrik: Membina Pelacur
Mbah Sungeb kyai jadhug tapi tasattur (sengaja menyembunyikan kelebihannya). Tak banyak yang mengetahui jati dirinya.
Suatu kali ada acara NU di Surabaya. Kyai Bisri Mustofa mengajak sejumlah kyai Rembang untuk berangkat berombongan dengan mobil miliknya. Mbah Sungeb ingin ikut tapi tak berani ngomong sendiri, maka ia minta tolong salah seorang kyai itu untuk mengusulkannya kepada Kyai Bisri.
“Sungeb kok dinaikkan mobil segala”, jawab Mbah Bisri, “Nggak usah!”
Rombongan pun berangkat tanpa Mbah Sungeb.
Sebagian kyai merasakan ganjalan di hati: Kyai Bisri kok pelit sekali, ditambahi nunutan satu orang lagi saja kok nggak mau, padahal masih ada tempat. Sebagian lainnya menduga-duga: apa ya, kesalahan Mbah Sungeb, kok sampai sebegitunya Kyai Bisri menyingkurinya?
Sampai di tempat acara dan kyai-kyai turun dari mobil, Mbah Sungeblah orang pertama yang menyambut kedatangan mereka!
Mbah Sungeb memang aneh. Ketika Pemda Rembang membuka lokalisasi pelacuran, Mbah Sungeb yang sudah sepuh justru rajin datang ke tempat itu. Nongkrong di warung-warungnya, ngobrol dengan perempuan-perempuannya. Orang-orang menggugatnya, Mbah Sungeb tak bergeming.
“Terserah aku mau dikatai apa… mau dibilang kyai begenggek (pelacur) ya silahkan saja”, begitu katanya, “orang-orang itu merasa dirinya lebih baik ketimbang begenggek. Padahal kalau begenggeknya tobat tapi yang ngrasani (mempergunjingkan) begenggek tidak tobat…?”
Tak lama sesudah Mbah Sungeb wafat, lokalisasi pelacuran itu ditutup.
***
Di Pasuruan, ada Kiyai Sholeh (Kiyai Muhammad Sholeh Bahruddin), pengasuh Pesantren Ngalah, Sengoagung, Purwosari. Kiyai Sholeh terkenal dengan banyu yasinan-nya, yaitu air yang sudah disuwuk dengan bacaan Surah Yasin. Banyu yasinan itu merupakan “srana generik”. Siapa pun yang datang dengan hajat apa pun, ia beri seplastik banyu yasinan diiringi doa ala kadarnya agar terkabul hajatnya.
Ketika seorang pelacur datang minta penglaris, banyu yasinan pun beliau sodorkan begitu saja. Tanpa banyak tanya, tanpa nasehat yang nyinyir, apalagi mencela.
Siapa sangka, beberapa waktu kemudian si pelacur datang lagi.
“Saya ini yang dulu datang kesini, Mbah”
“Oh? Sudah pernah kesini?”
“Iya”
Mbah Sholeh manggut-manggut.
“Bagaimana?”
“Sebenarnya suwuknya Simbah itu manjur sekali… tapi sekarang saya minta dicabut saja, Mbah”.
“Lho?”
“Saya ndak kuat lagi, Mbah… saya mau berhenti saja. Gara-gara suwuknya Simbah itu, berminggu-minggu saya ndak bisa istirahat sama sekali…. sampai hancur badan saya…”

suwun : http://ayikngalah.wordpress.com/2011/10/14/kyai-sholeh-bahruddin-sufi-eksentrik/

KYAI PELACUR



Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya.
Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak pelacur itu nyantri di pesantrennya.

Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya berjalan damai.“Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.“Pesantren anda ini?”“Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”

***

Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun.

Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati? Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya.

Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong:“Dun!, Lihatlah mulutku ini!”Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya.

Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya. “Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda.“Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” katanya Kiai Madun dalalam hati.Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja. Sembuh!
***
Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk.
Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang mneneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra?Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini?”Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi eluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kyai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari? Apa Mbak tidak salah alamat?” tanya Kyai Marwan pada perempuan itu.Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya. “Masya Allah….Masya Allah…Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja. …” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu.
Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama, sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah.
Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.

PRABU KIAN SANTANG ( SYAIKH SUNAN ROHMAT SUCI )


Pedang Prabu Kian Santang
Godog adalah suatu daerah pedesaan yang indah dan nyaman berjarak 10 km kearah timur dari kota Garut. Berada pada desa Lebakagung, kecamatan Karangpawitan, kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci.

Hampir setiap waktu banyak masyarakat yang ziarah, apalagi pada bulan-bulan Maulud. Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran yang bernama prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala Wangi. Mempunyai dua saudara yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.


Prabu Kiansantang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor. Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.


Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya disejagat pulau Jawa.


Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya". Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.


Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.


Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi.


Setiba di tanah Mekah beliau bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu: "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-­laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.


Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."


Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.


Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.


Dalam hatinya ia bertanya. "Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam. Kemudian mereka berdua berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. "Kenapa anda Ali pulang terlambat?”. Galantrang Setra kaget mendengar sebutan Ali tersebut.


Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya yang mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, malahan ajakannya ditolak. Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah, jabatan kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian beliau kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Beliau berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam. Setibanya di Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.


Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya Prabu Kiansantang sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.


Dengan rasa menyesal Prabu Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu Kiansantang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.


Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.


Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.


Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.


Yang dituju pertama kali adalah gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.


Dengan godegnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

 Arah:  Makam Godog dari Terminal Cileunyi Bandung ke Terminal Ciawitali Garut dapat  dicapai dengan waktu ± 1,5 jam Kemudian menuju lokasi dengan menggunakan angkutan kota satu kali jurusan Karangpawitan. Melalui Jalan Raya Karangpawitan ± 5,5 Km masuk ke dalam dengan menggunakan ojeg yang bertarif Rp 10.000,- sampai ke tempat parkir. Untuk mencapai lokasi makam hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki ± 20 menit dengan jarak ± 1 Km.