Rabu, 21 Desember 2011

Keajaiban Sholat Hajat

Mereka yang Mendapatkan Keajaiban Shalat Hajat


A. Menghidupkan Keledai yang Mati

Diriwayatkan dari Abu Sirah an-Nakh’iy, dia berkata, “Seorang
 laki-laki menempuh perjalanan dari Yaman. Di tengah perjalan keledainya
 mati, lalu dia mengambil wudhu kemudian shalat dua rakaat, setelah itu
 berdoa. Dia mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya saya datang dari negeri
 yang sangat jauh guna berjuang di jalan-Mu dan mencari ridha-Mu. Saya
 bersaksi bahwasanya Engkau menghidupkan makhluk yang mati dan
 membangkitkan manusia dari kuburnya, janganlah Engkau jadikan saya berhutang budi
 terhadap seseorang pada hari ini. Pada hari ini saya memohon kepada
 Engkau supaya membangkitkan keledaiku yang telah mati ini.” Maka,
 keledai itu bangun seketika, lalu mengibaskan kedua telinganya.” (HR
 Baihaqi; ia mengatakan, sanad cerita ini shahih)


B. Tercapainya Seluruh Hajat

Di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu ‘Aabidiin, disebutkan bahwa di dalam
 shalat hajat, pada rakaat pertama dibaca surah Al-Fatihah dan ayat Kursi
 tiga kali kemudian pada tiga rakaat sisanya dibaca surah Al-Fatihan dan
 Al-Ikhlash, Al-Falak, dan An-Nas satu kali. Maka itu sebanding dengan
 Lailatul Qadr . Guru-gurunya melaksanakan shalat ini, dan tercapai
 seluruh hajatnya.

C. Dikabulkan Permintaannya Oleh Khalifah Utsman bin Afan

Dalam kitab Mu’jamu ash-Shoghir wal Kabiir, Imam Thabrani
 menceritakan: Ada seorang laki-laki memiliki kebutuhan (hajat), kemudian ia
 memintanya kepada Amirulmukminin Utsman bin Afan, tetapi Utsam bin Afan tidak
 memberikan apa yang dimintanya. Kemudian ia bertemu seseorang, yaitu
 Utsman bin Hunaif. Lalu ia mengadukan permasalannya kepadanya. Akhirnya,
 Utsman bin Hunaif menyuruhnya untuk melaksanakan shalat hajat,
 sebagaimana yang telah diajarkan –tata caranya-- dalam hadits. Kemudian, ia
 pun mengerjakannya. Setelah itu, ia pun datang kembali menemui Utsam
 bin Afan. Tidak disangka, Utsam bin Afan memuliakannya dan mengabulkan
 permintaan laki-laki tersebut. Dengan kejadian itu, ia pun menemui Utman
 bin Hunaif (yang telah mengajarkannya shalat hajat) dan mengucapkan
 terima kasih kepadanya.

 

D. Ditolong Oleh Gubernur Thulun –Mesir--

Abu Al-Hasan As-Shaffar Al-Faqih berkata, “Suatu ketika, kami bersama
 Al-Hasan bin Sufyan An-Naswi. Banyak orang-orang terhormat yang
 mengunjunginya dari berbagai negeri yang jauh untuk mengikuti majelis
 taklimnya, guna menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits. Suatu hari, ia
 pergi menuju majelisnya, tempat ia menyampaikan riwayat-riwayat hadis, lalu
 ia berkata, “Dengarkanlah apa yang akan aku sampaikan kepada kalian
 sebelum kita memulai pelajaran. Kami memaklumi bahwa kalian adalah
 sekelompok orang yang diberikan banyak kenikmatan dan termasuk orang-orang
 yang terpandang. Kalian tinggalkan negeri kalian, berpisah dari kampung
 halaman dan teman-teman, hanya demi menuntut ilmu dan mencatat riwayat
 hadits. Kalian tidak menyadari bahwa kalian telah menempuh semua
 kesulitan ini demi ilmu, atau telah menanggung apa yang telah kalian
 tanggung, yaitu berupa kesusahan dan kelelahan yang menjadi salah satu
 konsekuensinya. Sesungguhnya aku ingin menceritakan kepada kalian sebagian
 kesulitan yang aku alami di dalam menuntut ilmu, serta bagaimana Allah SWT
 memberikan jalan keluar untukku dan para sahabatku --dengan keberkahan
 ilmu dan kemurnian aqidah-- dari segala kesempitan dan kesulitan.
 Ketahuilah, sejak muda aku telah meninggalkan kampung halaman untuk
 menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits. Takdir membawaku sampai ke Maroko,
 kemudian menuju Mesir, bersama tujuh orang sahabatku sesama penuntut
 ilmu dan pendengar hadits. Kami lalu berguru kepada seorang guru, ulama
 yang paling menonjol pada waktu itu. Paling banyak meriwayatkan hadits,
 paling mengetahui sanad-sanadnya, dan paling otentik periwayatan
 hadisnya. Ia menjelaskan hadis setiap hari sedikit demi sedikit, sehingga
 memakan waktu yang cukup lama. Akibatnya, kami menjadi kehabisan bekal.
 Kondisinya sampai memaksa kami untuk menjual barang-barang yang kami
 bawa, berupa baju dan celana. Akhirnya, tidak ada lagi milik kami yang
 tersisa untuk memperoleh biaya makan satu hari pun. Tiga hari tiga malam
 kami lalui tanpa dapat mencicipi sesuatu apa pun. Sampai pada suatu pagi
 di hari keempat, tak satu pun di antara kami yang dapat bergerak karena
 kelaparan. Kondisinya memaksa kami harus menahan rasa malu dan
 mengorbankan muka kami untuk meminta-minta, padahal diri kami menolak dan hati
 kami merasa keberatan. Setiap orang dari kami menolak melakukan hal
 itu, namun situasi dan kondisinya benar-benar memaksa untuk
 meminta-minta. Akhirnya, semuanya sepakat untuk menuliskan nama-nama kami di atas
 sebuah kain dan meletakkannya di atas air, barangsiapa yang namanya
 muncul ke permukaan, maka ia yang harus pergi meminta dan mencari makanan
 untuk dirinya serta sahabat-sahabatnya. Kain yang tertulis dengan namaku
 kemudian muncul ke permukaan. Aku bingung dan terkejut, dalam hatiku
 menolak untuk meminta-minta dan menanggung hina. Lalu, aku bergegas pergi
 ke satu sudut masjid untuk melakukan shalat dua rakaat dalam waktu
 cukup lama. Berdoa kepada Allah SWT dengan nama-nama-Nya yang Mahaagung
 dan kalimat-kalimat-Nya yang Mahamulia, agar menghilangkan kesusahan ini
 dan memberikan jalan keluarnya. Belum selesai aku melakukan shalat,
 seorang pemuda tampan tiba-tiba masuk ke dalam masjid dengan pakaian
 bersih dan bau yang wangi, diikuti oleh seorang pengawal yang memegang
 sebuah sapu tangan. Ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang bernama
 Al-Hasan bin Sufyan?” Aku mengangkat kepalaku dari sujudku, lalu
 menjawab, “Aku Al-Hasan bin Sufyan, apa yang Anda inginkan?” Ia menjawab,
 “Sesungguhnya sahabatku, Gubernur Ibnu Thulun menyampaikan salam
 hormat dan permohonan maafnya atas kelalaiannya di dalam memberikan
 perhatian mengenai kondisi kalian, juga atas kelalaian yang terjadi di dalam
 memenuhi hak-hak kalian. Ia mengirimkan sejumlah bekal untuk hari ini.
 Sedangkan besok, ia sendiri yang akan mengunjungi kalian untuk meminta
 maaf secara langsung.” Pemuda tersebut memberikan di tanganku
 masing-masing sebuah pundi berisi uang seratus dinar. Aku heran dan kebingungan.
 Maka, aku berkata kepada pemuda tersebut, “Ada kisah apakah dibalik
 ini semua?”
 Ia berkata, “Aku adalah salah seorang pelayan khusus Gubernur Ibnu
 Thulun. Pagi tadi, aku menemuinya bersama sejumlah sahabat yang lain,
 lalu gubernur mengatakan kepadaku, “Hari ini aku ingin menyendiri, maka
 pulanglah kalian ke rumah masing-masing!” Aku pun pulang bersama
 yang lainnya. Sesampainya di rumah, belum sempat aku duduk, seorang utusan
 gubernur mendatangiku dengan tergesa-gesa, memintaku untuk kembali.
 Aku segera memenuhi panggilannya dan mendapatkan gubernur sedang berada
 sendirian di rumahnya. Ia meletakkan tangan kanannya di atas
 pinggangnya, menahan rasa sakit yang teramat sangat di dalam perutnya. Ia berkata
 kepadaku, “Apakah engkau mengenal Al-Hasan bin Sufyan dan
 sahabat-sahabatnya?” Aku menjawab, “Tidak.” Ia berkata lagi, “Pergilah ke
 sektor fulan dan masjid fulan, bawalah pundi-pundi ini dan serahkan
 kepadanya dan para sahabatnya. Sudah tiga hari mereka kelaparan dengan
 kondisi yang mengenaskan. Sampaikan permintaan maafku, dan katakan bahwa
 besok pagi aku akan mengunjungi mereka untuk meminta maaf secara
 langsung.” Pemuda itu berkata, “Aku menanyakan tentang sebab yang
 membuatnya berbuat demikian, maka ia berkata, ‘Ketika aku masuk ke dalam
 rumah ini sendiri untuk beristirahat sesaat, aku tertidur dan bermimpi
 melihat seorang penunggang kuda sedang berlari di angkasa dengan begitu
 stabilnya --seperti layaknya berlari di atas hamparan bumi-- sambil
 memegang sebilah tombak. Aku melihatnya sambil tercengang hingga ia turun di
 depan pintu rumah ini, lalu meletakkan tombaknya di atas pinggangku,
 dan berkata, ‘Bangun, dan temuilah Al-Hasan bin Sufyan dan para
 sahabatnya.’ Bangun, dan temuilah mereka, sesungguhnya mereka kelaparan
 sejak tiga hari yang lalu di masjid fulan!’ Aku bertanya, ‘Siapakah
 engkau?” Ia menjawab, ‘Aku Ridhwan, penjaga pintu surga.’ Semenjak
 ia meletakkan ujung tombaknya di pinggangku, aku merasakan sakit yang
 teramat sangat, membuatku tidak dapat bergerak. Maka, segeralah engkau
 sampaikan uang ini kepada mereka, agar rasa sakit ini menghilang
 dariku.” Al-Hasan berkata, “Kami tercengang mendengar kisah tersebut,
 bersyukur kepada Allah SWT dan dapat memperbaiki kembali kondisi kami.
 Namun, diri kami merasa tidak nyaman lagi untuk menetap di tempat itu. Agar
 kami tidak dikunjungi oleh gubernur dan rahasia kami diketahui oleh
 orang lain, sehingga menyembabkan melambungnya reputasi dan kedudukan
 kami, dan semua itu akan menimbulkan sifat riya’. Maka, malam itu juga
 kami meninggalkan Mesir. Dan, ternyata setiap orang dari kami menjadi
 seorang tokoh ulama dan terpandang di zamannya. --Keesokan paginya,
 Gubernur Ibnu Thulun datang ke tempat itu untuk mengunjungi kami, lalu
 dikabarkan kepadanya mengenai kepergian kami. Kemudian, ia memerintahkan
 untuk membeli pertokoan/pasar seluruhya dan mewakafkannya untuk kepentingan
 masjid dan para perantau, orang-orang penting, dan para penuntut ilmu
 sebagai bekal mereka, agar kebutuhan mereka tidak lagi terabaikan dan
 tidak mengalami seperti yang kami alami. Semua itu disebabkan oleh
 kekuatan agama, kebersihan aqidah dan Allah SWT Maha Pemberi Taufiq.”  
sumber 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar