Oleh Al Yasa‘ Abubakar
UNTUK sebagian umat Islam, diskusi tentang apakah awal bulan hijriah akan ditetapkan dengan metode rukyah atau perhitungan falakiah, masih belum selesai. Upaya untuk mencari mana dalil dan pemahaman yang lebih meyakinkan, kelihatannya masih terus dilakukan.
Di dalam hadis disebutkan, Rasul menyuruh agar awal dari bulan qamariah ditetapkan berdasar keterlihatan hilal. Kalau hilal terlihat pada tanggal 29 sore maka besoknya menjadi tanggal satu bulan baru. Sebaliknya, jika tidak terlihat, misalnya karena awan, maka bulan berjalan disempurnakan menjadi 30 hari dan baru setelah itu mulai bulan baru. Sebuah cara yang sangat sederhana dan praktis yang dapat dilakukan oleh semua orang di semua tempat.
Perbedaan pendapat muncul ketika ulama mulai berdiskusi tentang pengaruh keterlihatan hilal pada satu kota kepada penduduk dari kota yang lain. Pertanyaannya, bolehkah penduduk Makkah berpuasa berdasarkan hilal yang dilihat penduduk Madinah, atau lebih tajam dari itu wajibkah penduduk suatu daerah berpuasa atau berhari raya karena ada penduduk daerah lain yang relatif berdekatan sudah melihat bulan. Sebetulnya kalau kaum muslimin tidak banyak tanya, mengamalkan saja hadis Rasulullah secara harfiah, seperti dipraktikkan pada masa Rasulullah dan Sahabat maka kesulitan di atas tidak akan muncul.
Tetapi persoalannya tidak sesederhana itu, manusia cenderung tak puas, karena itu selalu bertanya, berpikir, mencari dan mengemukakan jawaban-jawaban, yang sering sekali berbeda-beda dari orang ke orang. Lebih dari itu kita sering tidak toleran, ingin orang lain mengikuti atau sama dengan kita, walaupun Rasulullah sudah memberi izin kepada umatnya untuk berbeda-beda. Dalam kaitan dengan puasa, walaupun Rasulullah memberi izin kepada penduduk suatu negeri untuk berpuasa tidak pada hari yang sama dengan penduduk dari kota yang lain, umat Islam merasa kalau mereka yang tinggal pada satu wilayah dapat berpuasa atau berhari raya pada hari yang sama tentu akan lebih baik dan lebih maslahat.
Didorong oleh keinginan tersebut, muncul ijtihad dalam bentuk penyatuan daerah-daerah menjadi satu mathla‘. Maksudnya suatu atau beberapa daerah dianggap sebagai satu kesatuan wilayah, karena itu kemunculan hilal pada suatu tempat di daerah yang sudah disatukan itu akan dianggap sebagai kemunculan di seluruh daerah. Dengan demikian, semua penduduk dari wilayah yang satu mathla‘ terikat dengan kemunculan hilal di suatu tempat di wilayah tersebut.
Apa ukuran yang digunakan untuk menyatukan beberapa daerah menjadi satu mathla‘? Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama. Apakah Sumatera seluruhnya dianggap satu mathla‘, atau lebih dari itu Sumatera dengan Malaysia karena sangat berdekatan secara geografis dianggap satu mathla‘? Atau Sumatera dianggap satu mathla‘ dengan Sulawesi dan Papua yang relatif sangat jauh, karena satu negara, sedang dengan Malaysia tidak satu mathla‘ karena berbeda negara? Lebih dari itu demi untuk memudahkan, dapatkah sebuah negara dianggap sebagai satu mathla’; karena itu Indonesia yang relatif sangat luas, akan dianggap sebagai satu mathla‘. Keterlihatan hilal di salah satu tempat di bagian mana saja dari Indonesia akan mengikat seluruh penduduk Indonesia. Semua penduduk Indonesia dianggap wajib berpuasa atau berhari raya karena hilal sudah terlihat di salah satu wilayah Indonesia. Mengikuti jalan pikiran ini, kalau ada penduduk Aceh yang tidak mau berpuasa atau berhari raya karena tidak melihat hilal, walaupun ada kabar yang sahih (bahkan mutawatir) bahwa hilal sudah terlihat di Makassar, maka orang ini mungkin sekali akan dianggap “ketinggalan zaman” atau suka mencari sensasi. Sedang pada masa Rasulullah dahulu adanya perbedaan antara Makkah dan Madinah dianggap sebagai sesuatu yang biasa, walaupun jarak antara Makkah dan Madinah hanya sekitar 400 km saja. Jadi mewajibkan orang Aceh bepuasa atau berhari raya atas keterlihatan bulan di wilayah Papua, Kalimantan, atau Jawa, atau sebaliknya, jelas merupakan sebuah ijtihad, karena praktik seperti itu tidak ada pada masa Rasulullah.
Sebagian umat Islam tidak puas dengan hasil ijtihad di atas. Menurut mereka Al-qur’an sudah menegaskan bahwa pergantian siang dengan malam, peredaran bulan, bumi, bintang, bahkan matahari, serta perjalanan benda angkasa di jagad raya ini semuanya terjadi secara teratur (QS:Yasin 37-40). Karena teratur, maka peredaran semua benda angkasa itu termasuk kemunculan hilal dapat dihitung, diprediksi secara ilmiah.
Kemajuan ilmu telah membuktikannya, dan hasil atau kemajuan inilah yang memungkinkan orang mengirimkan pesawat antariksa pergi ke Bulan bahkan ke planet-planet lainnya. Di kalangan umat Islam keteraturan ini jugalah yang menjadi dasar, maka kita berani menghitung waktu shalat dan mengeluarkan jadwal shalat abadi yang berlaku sepanjang tahun, dan bersedia menggunakannya tanpa beban atau rasa risih sedikit pun.
Dalam kaitan dengan kemunculan hilal, ilmu falak sudah dapat menghitung kapan ijtima‘ terjadi, dan karena itu dapat menentukan apakah hilal sudah wujud sebelum matahari terbenam atau belum. Sama seperti untuk waktu shalat, maka penentuan awal bulan qamariah pun dapat dihitung dan diketahui sampai beberapa tahun ke depan secara meyakinkan secara ilmiah (paling kurang sampai ke tingkat zhan).
Karena dianggap memenuhi syarat ijtihadiah, sebagian umat Islam, menggunakan hasil ilmu pengetahuan di atas sebagai sarana untuk berijtihad, dan karena itu menerima penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal bahkan semua bulan qamariah lainnya berdasarkan perhitungan falakiah. Di samping kualitas ilmiahnya, ijtihad ini dianggap lebih maslahat karena awal Ramadhan dan Syawal dapat dihitung sejak jauh hari dan karena itu berbagai kegiatan yang berkaitan dengannya dapat direncanakan secara lebih baik.
Sekiranya ada pernyataan bahwa penentuan awal Ramadhan merupakan masalah ta‘abbudiyah, karena itu tidak ada ruang untuk mengijtihadkannya (ghayr ma‘qul al-ma‘na), maka dapat dijawab, para ulama sudah menjadikannya berada di ruang ijtihadiah, dan mereka sudah mengijtihadkannya. Seperti di atas sudah disebutkan, ulama sudah memunculkan istilah mathla‘ yang tidak ada dalam hadis dan juga belum ada pada masa Sahabat, sehingga orang di Makkah pada masa sekarang, bukan saja boleh bahkan wajib berpuasa atau berhari raya atas kemunculan hilal di Madinah (dan sebaliknya), sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah.
Sekiranya ditelusuri lebih lanjut, adanya keharusan menyelesaikan penentuan awal Ramadhan dan Syawwal dengan ijtihad, karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan, terutama sekali alat komunikasi. Pada masa Rasulullah, sahabat serta masa imam mazhab sarana komunikasi masih terbatas, sehingga kemunculan hilal di Makkah baru diketahui di Madinah sesudah beberapa hari berselang. Sedang saat ini kabar tersebut dapat diketahui dalam hitungan menit. Jadi kalau sekarang ini kita berpuasa atau berhari raya berdasar keterlihatan bulan di daerah lain yang kita ketahui melalui alat komunikasi, bukan karena keterlihatannya di kota atau daerah kita sendiri, maka kita menerima kesimpulan tersebut dengan satu tingkatan ijtihad saja. Sedang kalau awal Ramadhan dan semua bulan lainnya ditentukan dengan perhitungan falakiah, maka kita melakukan dua tingkatan ijtihad.
Pada yang pertama kita percaya pada kabar yang menyatakan bahwa hilal sudah terlihat di daerah lain, yang kita terima melalui televisi, radio, atau telepon. Atas dasar ini kita menyimpulkan (secara yakin, atau paling kurang zhan) bahwa hilal harusnya sudah terlihat juga di daerah kita. Karena itu kita mulai berpuasa atau berhari raya. Sedang kabar (perhitungan) yang disampaikan para ilmuwan bahwa bulan sudah muncul dan harusnya terlihat di daerah kita, kita anggap tidak meyakinkan dan karena itu tidak kita terima.
Sedang bagi kelompok yang kedua, kabar yang disampaikan oleh ilmuwan bahwa hilal sudah wujud, walaupun tidak ada yang melihatnya, adalah lebih meyakinkan dari kabar bahwa hilal sudah muncul yang disampaikan media massa atau kiriman sms melalui handphone. Menurut kelompok yang kedua, hilal sudah muncul menurut perhitungan ilmiah adalah meyakinkan (lebih tinggi dari zhan) karena dapat dihitung ulang oleh siapa saja sekiranya dia mempunyai ilmu untuk itu. Sebaliknya kesaksian bahwa hilal sudah terlihat yang kita ketahui dari media massa sering tidak dapat kita uji atau periksa, sehingga penerimaan tersebut hanyalah berdasarkan otoritas (percaya atau tidak).
Selamat berhari raya, semoga ijtihad manapun yang kita pilih untuk menentukan waktunya, semakin mengeratkan ukhuwwah di antara kita. Hendaknya tidak ada khutbah yang menyalahkan apalagi mencela kelompok yang berbeda dengan kita, atau sebaliknya memaksa orang lain agar sama dengan kita. Marilah kita hidupkan tasamuh (toleransi) dan kita perkuat ukhuwwah di antara kita. Amin.
Di dalam hadis disebutkan, Rasul menyuruh agar awal dari bulan qamariah ditetapkan berdasar keterlihatan hilal. Kalau hilal terlihat pada tanggal 29 sore maka besoknya menjadi tanggal satu bulan baru. Sebaliknya, jika tidak terlihat, misalnya karena awan, maka bulan berjalan disempurnakan menjadi 30 hari dan baru setelah itu mulai bulan baru. Sebuah cara yang sangat sederhana dan praktis yang dapat dilakukan oleh semua orang di semua tempat.
Perbedaan pendapat muncul ketika ulama mulai berdiskusi tentang pengaruh keterlihatan hilal pada satu kota kepada penduduk dari kota yang lain. Pertanyaannya, bolehkah penduduk Makkah berpuasa berdasarkan hilal yang dilihat penduduk Madinah, atau lebih tajam dari itu wajibkah penduduk suatu daerah berpuasa atau berhari raya karena ada penduduk daerah lain yang relatif berdekatan sudah melihat bulan. Sebetulnya kalau kaum muslimin tidak banyak tanya, mengamalkan saja hadis Rasulullah secara harfiah, seperti dipraktikkan pada masa Rasulullah dan Sahabat maka kesulitan di atas tidak akan muncul.
Tetapi persoalannya tidak sesederhana itu, manusia cenderung tak puas, karena itu selalu bertanya, berpikir, mencari dan mengemukakan jawaban-jawaban, yang sering sekali berbeda-beda dari orang ke orang. Lebih dari itu kita sering tidak toleran, ingin orang lain mengikuti atau sama dengan kita, walaupun Rasulullah sudah memberi izin kepada umatnya untuk berbeda-beda. Dalam kaitan dengan puasa, walaupun Rasulullah memberi izin kepada penduduk suatu negeri untuk berpuasa tidak pada hari yang sama dengan penduduk dari kota yang lain, umat Islam merasa kalau mereka yang tinggal pada satu wilayah dapat berpuasa atau berhari raya pada hari yang sama tentu akan lebih baik dan lebih maslahat.
Didorong oleh keinginan tersebut, muncul ijtihad dalam bentuk penyatuan daerah-daerah menjadi satu mathla‘. Maksudnya suatu atau beberapa daerah dianggap sebagai satu kesatuan wilayah, karena itu kemunculan hilal pada suatu tempat di daerah yang sudah disatukan itu akan dianggap sebagai kemunculan di seluruh daerah. Dengan demikian, semua penduduk dari wilayah yang satu mathla‘ terikat dengan kemunculan hilal di suatu tempat di wilayah tersebut.
Apa ukuran yang digunakan untuk menyatukan beberapa daerah menjadi satu mathla‘? Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama. Apakah Sumatera seluruhnya dianggap satu mathla‘, atau lebih dari itu Sumatera dengan Malaysia karena sangat berdekatan secara geografis dianggap satu mathla‘? Atau Sumatera dianggap satu mathla‘ dengan Sulawesi dan Papua yang relatif sangat jauh, karena satu negara, sedang dengan Malaysia tidak satu mathla‘ karena berbeda negara? Lebih dari itu demi untuk memudahkan, dapatkah sebuah negara dianggap sebagai satu mathla’; karena itu Indonesia yang relatif sangat luas, akan dianggap sebagai satu mathla‘. Keterlihatan hilal di salah satu tempat di bagian mana saja dari Indonesia akan mengikat seluruh penduduk Indonesia. Semua penduduk Indonesia dianggap wajib berpuasa atau berhari raya karena hilal sudah terlihat di salah satu wilayah Indonesia. Mengikuti jalan pikiran ini, kalau ada penduduk Aceh yang tidak mau berpuasa atau berhari raya karena tidak melihat hilal, walaupun ada kabar yang sahih (bahkan mutawatir) bahwa hilal sudah terlihat di Makassar, maka orang ini mungkin sekali akan dianggap “ketinggalan zaman” atau suka mencari sensasi. Sedang pada masa Rasulullah dahulu adanya perbedaan antara Makkah dan Madinah dianggap sebagai sesuatu yang biasa, walaupun jarak antara Makkah dan Madinah hanya sekitar 400 km saja. Jadi mewajibkan orang Aceh bepuasa atau berhari raya atas keterlihatan bulan di wilayah Papua, Kalimantan, atau Jawa, atau sebaliknya, jelas merupakan sebuah ijtihad, karena praktik seperti itu tidak ada pada masa Rasulullah.
Sebagian umat Islam tidak puas dengan hasil ijtihad di atas. Menurut mereka Al-qur’an sudah menegaskan bahwa pergantian siang dengan malam, peredaran bulan, bumi, bintang, bahkan matahari, serta perjalanan benda angkasa di jagad raya ini semuanya terjadi secara teratur (QS:Yasin 37-40). Karena teratur, maka peredaran semua benda angkasa itu termasuk kemunculan hilal dapat dihitung, diprediksi secara ilmiah.
Kemajuan ilmu telah membuktikannya, dan hasil atau kemajuan inilah yang memungkinkan orang mengirimkan pesawat antariksa pergi ke Bulan bahkan ke planet-planet lainnya. Di kalangan umat Islam keteraturan ini jugalah yang menjadi dasar, maka kita berani menghitung waktu shalat dan mengeluarkan jadwal shalat abadi yang berlaku sepanjang tahun, dan bersedia menggunakannya tanpa beban atau rasa risih sedikit pun.
Dalam kaitan dengan kemunculan hilal, ilmu falak sudah dapat menghitung kapan ijtima‘ terjadi, dan karena itu dapat menentukan apakah hilal sudah wujud sebelum matahari terbenam atau belum. Sama seperti untuk waktu shalat, maka penentuan awal bulan qamariah pun dapat dihitung dan diketahui sampai beberapa tahun ke depan secara meyakinkan secara ilmiah (paling kurang sampai ke tingkat zhan).
Karena dianggap memenuhi syarat ijtihadiah, sebagian umat Islam, menggunakan hasil ilmu pengetahuan di atas sebagai sarana untuk berijtihad, dan karena itu menerima penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal bahkan semua bulan qamariah lainnya berdasarkan perhitungan falakiah. Di samping kualitas ilmiahnya, ijtihad ini dianggap lebih maslahat karena awal Ramadhan dan Syawal dapat dihitung sejak jauh hari dan karena itu berbagai kegiatan yang berkaitan dengannya dapat direncanakan secara lebih baik.
Sekiranya ada pernyataan bahwa penentuan awal Ramadhan merupakan masalah ta‘abbudiyah, karena itu tidak ada ruang untuk mengijtihadkannya (ghayr ma‘qul al-ma‘na), maka dapat dijawab, para ulama sudah menjadikannya berada di ruang ijtihadiah, dan mereka sudah mengijtihadkannya. Seperti di atas sudah disebutkan, ulama sudah memunculkan istilah mathla‘ yang tidak ada dalam hadis dan juga belum ada pada masa Sahabat, sehingga orang di Makkah pada masa sekarang, bukan saja boleh bahkan wajib berpuasa atau berhari raya atas kemunculan hilal di Madinah (dan sebaliknya), sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah.
Sekiranya ditelusuri lebih lanjut, adanya keharusan menyelesaikan penentuan awal Ramadhan dan Syawwal dengan ijtihad, karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan, terutama sekali alat komunikasi. Pada masa Rasulullah, sahabat serta masa imam mazhab sarana komunikasi masih terbatas, sehingga kemunculan hilal di Makkah baru diketahui di Madinah sesudah beberapa hari berselang. Sedang saat ini kabar tersebut dapat diketahui dalam hitungan menit. Jadi kalau sekarang ini kita berpuasa atau berhari raya berdasar keterlihatan bulan di daerah lain yang kita ketahui melalui alat komunikasi, bukan karena keterlihatannya di kota atau daerah kita sendiri, maka kita menerima kesimpulan tersebut dengan satu tingkatan ijtihad saja. Sedang kalau awal Ramadhan dan semua bulan lainnya ditentukan dengan perhitungan falakiah, maka kita melakukan dua tingkatan ijtihad.
Pada yang pertama kita percaya pada kabar yang menyatakan bahwa hilal sudah terlihat di daerah lain, yang kita terima melalui televisi, radio, atau telepon. Atas dasar ini kita menyimpulkan (secara yakin, atau paling kurang zhan) bahwa hilal harusnya sudah terlihat juga di daerah kita. Karena itu kita mulai berpuasa atau berhari raya. Sedang kabar (perhitungan) yang disampaikan para ilmuwan bahwa bulan sudah muncul dan harusnya terlihat di daerah kita, kita anggap tidak meyakinkan dan karena itu tidak kita terima.
Sedang bagi kelompok yang kedua, kabar yang disampaikan oleh ilmuwan bahwa hilal sudah wujud, walaupun tidak ada yang melihatnya, adalah lebih meyakinkan dari kabar bahwa hilal sudah muncul yang disampaikan media massa atau kiriman sms melalui handphone. Menurut kelompok yang kedua, hilal sudah muncul menurut perhitungan ilmiah adalah meyakinkan (lebih tinggi dari zhan) karena dapat dihitung ulang oleh siapa saja sekiranya dia mempunyai ilmu untuk itu. Sebaliknya kesaksian bahwa hilal sudah terlihat yang kita ketahui dari media massa sering tidak dapat kita uji atau periksa, sehingga penerimaan tersebut hanyalah berdasarkan otoritas (percaya atau tidak).
Selamat berhari raya, semoga ijtihad manapun yang kita pilih untuk menentukan waktunya, semakin mengeratkan ukhuwwah di antara kita. Hendaknya tidak ada khutbah yang menyalahkan apalagi mencela kelompok yang berbeda dengan kita, atau sebaliknya memaksa orang lain agar sama dengan kita. Marilah kita hidupkan tasamuh (toleransi) dan kita perkuat ukhuwwah di antara kita. Amin.
* Penulis adalah Direktur Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar