Selasa, 15 November 2011

Bagaimana hukumnya tahlil?

Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa saudara tanyakan hukumnya tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah saudara juga masih tanya hukumnya?
Apakah pahala tahlil itu pasti sampai kepada orang yang ditahlilkannya?
Pasti sampai itu tidak, kami dan saudara sama-sama tidak tahu. Akan tetapi si pembaca tahlil itu, memohon kepada Allah hendaknya pahala tahlil yang disampaikan kepada yang ditahlilkannya.
Apakah yang demikian itu tidak bertentangan dengan ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Bahwa manusia itu tidak mendapat pahala kecuali pahala hasil amalnya sendiri.
Sehingga seseorang tidak dapat menerima manfaat dari orang lain.
Itu memang wajar. Juru tulis tidak mendapat gaji kecuali gaji sebagai juru tulis, dan tidak mendapat gajinya gubernur. Juga yang bukan juru tulis dia tidak akan bisa mendapatkan gajinya juru tulis. Demikian pula orang yang membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak bisa mendapat pahala, kecuali pahalanya sebagai pembaca kalimat Thoyibah, dan tidak bisa mendapatkan pahalanya membaca Al-Qur’an 30 Juz. Juga yang tidak dapat membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak dapat mendapat pahalanya membaca kalimat Thoyyibah. Akan tetapi soalnya kita memohon kepada Allah yang Maha Murah, agar pahala tahlil kita disampaikan kepada orang-orang yang dimaksud. Apa salahnya memohon? Sebagaimana halnya orang-orang yang berdosa besar selain syirik, untuk dihapus dosanya, dia harus bertaubat, tetapi kita memohon kepada Allah Ta’ala:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
Kalau memang orang itu diberi ampunan oleh Allah Ta’ala itu yang kita harapkan. Kalau tidak, itu adalah semata-mata kekuasaaan Allah sendiri. Saya kira saudara ada lebih baik, tidak mempersempit rahmat Allah yang sangat besar, lagi maha luhur itu. Lain dari pada ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Itu adalah ayat ‘Amah Makhshushoh. Saudara saya persilahkan baca tafsir-tafsir yang Mu’tabar. Masalah-masalah yang dikeluarkan dari ayat ini banyak sekali. Yaitu masalah-masalah dimana orang dapat menerima manfaat dari amalnya orang lain. Sebagai contoh:
  • Mayit dapat manfaat sesuatu, karena do’anya orang lain
    ( اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ)
  • Rasulullah dapat memberi syafaat kepada Ahlil Mauquf Fi Al Hisab.
  • Rasululah dapat memberi syafaat kepada orang yang berdosa besar sehingga mereka dapat dikeluarkan dari neraka. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang menerima manfaat dari amalnya orang lain?
  • Malaikat memohonkan ampun kepada penghuni Bumi.
  • Allah Ta’ala dapat mengeluarkan dari neraka, orang-orang yang sama sekali tidak pernah beramal baik, dan dimasukkan di dalam surga dengan rahmat Allah. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang telah menerima manfaat tidak dari hasilnya sendiri?
  • Anak-anaknya orang mu’min yang belum sampai umur, mereka dapat masuk surga tidak karena amalnya sendiri, akan tetapi sebab amalnya orang-orang tua mereka.
  • Dua anak yatim yang diceritakan di dalam kisah Nabi Allah Khidir, Allah Ta’ala bersabda:
    وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا

    Kisah ini memberikan kesimpulan bahwa dua anak yatim ini, mendapat manfaat, sebab kebaikan ayahnya, bukankah ini keluar daripada jiwa:
    وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
  • Mayit, dapat menerima manfaat Bis Shodaqoh Anhu Wa Bil ‘Atiq, dengan nash sunah dan Ijma’
  • Haji dapat gugur dari mayit, dengan amal hajinya salah satu dari walinya bi Nash assunah.
  • Haji Nadzar atau puasa nadzar dapat gugur dengan amalnya orang lain, bi Nash assunnah.
  • Ada orang mati di zaman Rasulullah, orang itu banyak mempunyai hutang, pada waktu itu Rasulullah tidak mau mensholatkan. Sehingga Abu Qotadah membayar hutangnya mayit itu. Baru Rasulullah mau mensholatkan. Bukankah ini terang-terangan bahwa si mayit mendapat manfaat berupa sholatnya Rasulullah atasnya, sebab amal orang lain, yaitu qotadah yang telah membayar hutang si mayit.
  • Rasulullah melihat ada orang sholat munfarid. Beliau berkata:”Tidakkah ada seseorang yang mau shodaqoh kepada orang itu, yaitu mau sholat bersama dia, agar banyak hasil fadlilah jama’ah.”
  • Seorang yang banyak hutang, dia dapat bebas dari tanggungannya apabila hutangnya dibayar lunas oleh orang lain.
  • Orang yang ikut duduk di dalam majlis ahli dzikir, dia turut mendapat rahmat, meskipun dia tidak turut dzikir.
  • Jama’ah sholat yang lebih besar jumlahnya, pahalanya ada lebih besar daripada jama’ah yang kecil jumlahnya. (bukankah kebesaran pahala itu disebabkan amal orang lain?)
  • Allah Ta’ala berfirman:
    وَمَاكَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ

    Tidaklah Allah itu menyiksa mereka sedang engkau berada di tengah-tengah mereka.

    Bukankah manfaat tidak diturunkannyya siksa kepada mereka itu sebab orang lain?
  • Rasulullah bersabda:
    لَوْلاَ عِبَادٌ ِللهِ رُكَّعٌ وَصِبْيَةٌ رُضَّعٌ وَبَهَائِمٌ رُتَّعٌ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ اْلعَذَابُ صَبًّا

    Andaikata tidak ada orang-orang yang ibadah kepada Allah yang sama ruku’ dan anak-anak yang masih menyusui dan binatang-binatang yang sama mencari makanan, maka dituangkan atas kamu sekalian siksaan, benar-benar dituangkan. (HR. At-Thobroni dan Al-Baihaqi)

    Bukankah manfaat tidak diturunkannya siksa Allah ini, sebab orang lain? Dan masih banyak lagi.
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar