VIVAnews - Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, terkenal sebagai wali, ulama sufi yang berhasil menyebarkan agama Islam hingga daratan Afrika. Di negeri itu pula, putra kelahiran Sulawesi Selatan ini wafat, setelah diasingkan oleh pemerintah kompeni di Batavia.
"Beliau meninggal pada 23 Mei 1699, pada saat berusia 73 tahun," terang Rahmat, asisten juru kunci makam Syekh Yusuf di Makassar kepada VIVAnews.
Berdasarkan catatan juru kunci makam, berita meninggalnya Syekh Yusuf beredar luas, termasuk ke tanah Goa (sekarang Gowa). Pihak kerajaan dan bangsawan Gowa pun memulangkan jenazah wali Allah tersebut.
Proses pemulangan jenazah Syekh Yusuf bukan perkara mudah. Pasalnya, kata Rahmat, pemulangan itu tidak mendapat restu dari pemerintah Kompeni. "Masih ada ketakutan dari penjajah akan munculnya semangat perlawanan dari Nusantara jika dipulangkan," kata Rahmat.
Negosiasi pemulangan jenazah Syekh Yusuf yang dilakukan oleh Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil, berhasil enam tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1705. Itupun, konon, ada syarat yang harus dipenuhi: yang bisa kembali ke Nusantara adalah anak-anaknya yang berusia lima tahun ke bawah.
Dalam perjalanan pulang itulah, jenazah Syekh Yusuf sempat disinggahkan di beberapa tempat, seperti Sri Lanka, Banten, Sumenep (Madura), terakhir di Makassar. Daerah-daerah itu dikenal banyak tinggal murid dan pengikut tarekat Khalwatiyah.
"Di setiap daerah yang disinggahi, maka para pengikut dan murid berinisiatif membuat makam sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan. Makanya makam Syekh Yusuf itu diyakini di beberapa tempat," jelas Rahmat.
Ia juga meyakinkan, bahwa jasad yang asli itu berada di Makassar. Sedangkan makam di Sri Lanka, itu berupa jubah dan sorban, di Banten, yang dimakamkan adalah tasbih, dan makam di Sumenep, juga berupa jubah dan sorban.
"Kalau di Afrika itu ditegaskan sebagai makam awalnya sebelum dipindahkan ke Makassar," tambahnya.
Sebagai pelabuhan terakhir, Syekh Yusuf kini dimakamkan di Lakiung, atau saat ini lebih dikenal dengan Ko'bang, yang berada di Jalan Syekh Yusuf, perbatasan Gowa dan Makassar.
Saat ini, makam wali besar Sulawesi Selatan ini sungguh sangat dihormati, dihargai, dan dijaga keberadaanya. Setiap harinya, makam tersebut ramai dikunjungi masyarakat, yang berasal dari penjuru dunia. Menurut Rahmat, pengunjung pada hari normal, tidak kurang dari 20 orang setiap harinya.
"Tapi setelah lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, para pengunjung paling ramai. Pernah mencapai lebih dari 1000 orang," kata dia.
Kedatangan warga tersebut adalah untuk berziarah, semata-mata mengharap keramat dari almarhum Syekh Yusuf. Apalagi jika mereka meniatkan sesuatu serta ada keinginan dan harapan yang tercapai, seperti nazar.
Dalam sejarahnya, Syekh Yusuf merupakan pendiri ajaran tarekat khalwatiyah. Kemudian, Syekh Yusuf juga berhasil mendapat dua penghargaan sebagai pahlawan nasional dari Indonesia pada 9 November 1996 dan dari pemerintah Afrika Selatan pada 23 September 2005.
"Afrika Selatan memang sangat berterima kasih pada Syekh Yusuf karena ajaran Islam di sana yang tidak membedakan warna kulit. Dia di sana bahkan digelar As-salam," kata dia lagi.
Makam Syekh Yusuf berada dalam sebuah kompleks. Untuk menandai makam tersebut, dibangun sebuah kubah, dikenal dengan Ko'bang, berukuran 11 x 11 meter persegi. Dalam kubah tersebut terdapat 11 makam termasuk Syekh Yusuf. Sedangkan lainnya adalah istri dari Sultan Gowa, I Sitti Daeng Nisanga, yang berada di sisi kiri dan Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil, yang berperan besar memulangkan jenazah Syekh Yusuf.
Sembilan makam lainnya adalah pengikut dan kerabat dari Syekh Yusuf, yang masing-masing bernama Mappadulung Daeng Mattimung, Karaengta Panaikang, Syekh Abd. Basyir, Tuang Loeta, I Lakiung, Tanri Daeng, Tanri Uleng, Tanri Abang dan Daeng Ritasammeng
Makam tersebut kini menjadi cagar budaya yang harus dipeliharan karena dilindungi Undang-undang. (Laporan: Rahmat Zeena | Makassar, umi)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar